Untuk menekan biaya produksi, Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura (TPH) Sumatera Utara (Sumut) akan mensosialisasikan teknologi salibu pada tanaman padi.
"Untuk pilot project kita akan terapkan di tiga kabupaten yakni Kabupaten Simalungun seluas 300 hektare, Tapanuli Selatan (Tapsel) 200 hektare dan Mandailing Natal (Madina) 100 hektare. Jadi semua 600 hektare," kata Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumut, M Azhar Harahap kepada wartawan, Rabu (18/10/2017),, di Medan.
Menurut Azhar, pengembangan tanaman padi dengan teknologi salibu akan dilakukan pada musim tanam Oktober ini.
"Kita berharap teknologi salibu ini dapat diikuti petani kita untuk menghemat biaya produksi mereka terutama dari tenaga kerja dan biaya pembelian benih," kata Azhar.
Sebelumnya, Kasi Ekstensifikasi Padi, Irigasi dan Rawa Kementerian Pertanian (Kementan) Indra mengatakan, teknologi salibu merupakan hasil penelitian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Barat.
Bahkan BPTP Sumatera Barat (Sumbar) menjadi acuan nasional dalam penerapan teknologi salibu.
Di mana teknologi salibu ini merupakan sistem penanaman padi yang panennya dapat dilakukan antara tiga sampai empat kali.
Maksudnya, penanaman padi dilakukan seperti biasa, setelah memasuki masa panen, panen yang dilakukan tidak boleh memakai combine harvester tapi secara manual atau dengan mesin pemotong rumput.
Hanya saja, saat pemanenan dilakukan, batang padi harus disisakan sekitar 10 cm dari permukaan tanah. Sisa tanam itulah yang kemudian diberi pupuk dan dirawat seperti penanaman padi biasa. Hingga muncul batang atau tunas baru.
"Dari tunas baru itu nanti akan muncul bulir-bulir padi sama seperti tanaman padi biasa. Dan, hasil yang diperoleh tidak jauh berbeda dengan hasil panen pertama, hanya menurun sedikit. Inilah yang dinamakan teknologi salibu," kata Indra.
Kalau hasil panen pertama petani memperoleh 7,2 ton per hektare, maka panen kedua berkisar tujuh ton per hektare. Begitu juga dengan panen ketiga dan keempat, hanya turun sedikit. Tapi petani sangat dibantu dari penurunan biaya produksi dari upah kerja dan pembelian bibit.
Teknologi salibu ini kata Indra lagi, merupakan teknologi tanam yang penanamannya lebih mengarah ke pertanian organik.
"Cara penanamannya sama dengan yang biasa dilakukan petani selama ini hanya pemupukan yang berbeda. Saya tidak tahu persis takaran pupuk dan pupuk apa saja yang digunakan. Tetapi yang jelas, teknologi salibu ini mulai diterapkan secara nasional," ujar Indra. (sumber)
"Untuk pilot project kita akan terapkan di tiga kabupaten yakni Kabupaten Simalungun seluas 300 hektare, Tapanuli Selatan (Tapsel) 200 hektare dan Mandailing Natal (Madina) 100 hektare. Jadi semua 600 hektare," kata Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumut, M Azhar Harahap kepada wartawan, Rabu (18/10/2017),, di Medan.
Menurut Azhar, pengembangan tanaman padi dengan teknologi salibu akan dilakukan pada musim tanam Oktober ini.
"Kita berharap teknologi salibu ini dapat diikuti petani kita untuk menghemat biaya produksi mereka terutama dari tenaga kerja dan biaya pembelian benih," kata Azhar.
Sebelumnya, Kasi Ekstensifikasi Padi, Irigasi dan Rawa Kementerian Pertanian (Kementan) Indra mengatakan, teknologi salibu merupakan hasil penelitian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Barat.
Bahkan BPTP Sumatera Barat (Sumbar) menjadi acuan nasional dalam penerapan teknologi salibu.
Di mana teknologi salibu ini merupakan sistem penanaman padi yang panennya dapat dilakukan antara tiga sampai empat kali.
Maksudnya, penanaman padi dilakukan seperti biasa, setelah memasuki masa panen, panen yang dilakukan tidak boleh memakai combine harvester tapi secara manual atau dengan mesin pemotong rumput.
Hanya saja, saat pemanenan dilakukan, batang padi harus disisakan sekitar 10 cm dari permukaan tanah. Sisa tanam itulah yang kemudian diberi pupuk dan dirawat seperti penanaman padi biasa. Hingga muncul batang atau tunas baru.
"Dari tunas baru itu nanti akan muncul bulir-bulir padi sama seperti tanaman padi biasa. Dan, hasil yang diperoleh tidak jauh berbeda dengan hasil panen pertama, hanya menurun sedikit. Inilah yang dinamakan teknologi salibu," kata Indra.
Kalau hasil panen pertama petani memperoleh 7,2 ton per hektare, maka panen kedua berkisar tujuh ton per hektare. Begitu juga dengan panen ketiga dan keempat, hanya turun sedikit. Tapi petani sangat dibantu dari penurunan biaya produksi dari upah kerja dan pembelian bibit.
Teknologi salibu ini kata Indra lagi, merupakan teknologi tanam yang penanamannya lebih mengarah ke pertanian organik.
"Cara penanamannya sama dengan yang biasa dilakukan petani selama ini hanya pemupukan yang berbeda. Saya tidak tahu persis takaran pupuk dan pupuk apa saja yang digunakan. Tetapi yang jelas, teknologi salibu ini mulai diterapkan secara nasional," ujar Indra. (sumber)
Posting Komentar